Pages

Kamis, 29 Juli 2010

Al-Muhaimin (Yang Maha Memelihara)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya yang mulia:
”Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
(QS Al-Hasyr: 23)

Kata Al Muhaimin berasal dari kata haimana yuhaiminu yang berarti memelihara, menjaga, mengawasi atau menjadi saksi (yang membenarkan atau menyalahkan.) Kata ini dipakai di dalam Al Qur'an sebanyak dua kali, yang pertama merujuk kepada sifat Al Qur'an (QS Al-Maa’idah: 48) dan yang kedua merujuk kepada sifat Allah (QS Al-Hasyr: 23).

Al Qur'an sebagai muhaiminan merujuk kepada fungsinya sebagai saksi atas kitab-kitab terdahulu. Sejarah, kisah, keteladanan, aturan kehidupan yang pernah dimuat dalam kitab-kitab lain dapat kita pegang sebagai kebenaran bila hal itu juga dibenarkan dalam Al Qur'an. Sebaliknya segala sesuatu yang dikatakan salah oleh Al Qur'an tentang isi kitab-kitab yang telah lalu maka hal itu memang salah adanya. Disini Al Qur'an berfungsi sebagai saksi yang membenarkan dan menyalahkan isi kitab-kitab yang telah diturunkan Allah sebelumnya, yang jauh sebelum turunnya Al Qur'an telah mengalami banyak penyimpangan oleh tangan-tangan manusia.

Dari sini umat Islam mendapat pelajaran bahwa cukup bagi mereka hanya dengan mempelajari Al Qur'an dan tidak perlu repot-repot mempelajari Taurat dan Injil yang jelas-jelas telah terkontaminasi. Mempelajarinya berarti menanggung resiko keliru karena isinya yang telah campur baur antara yang hak dan yang batil. Maka pantas jika suatu hari Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa Sallam pernah menunjukkan ketidak-sukaan kepada Umar bin Khathathab Radhiallahu’anhu, yang memegang lembaran Taurat dan mengingatkannya apakah tidak cukup baginya Al Qur'an. Banyak umat Islam saat ini yang percaya bahwa Yesus atau Nabi Isa ‘Alaihissalam wafat di tiang salib. Persis seperti apa yang diajarkan Injil yang sekarang ini masih dipegang oleh orang-orang Nasrani. Tentu saja kepercayaan itu akan mengotori aqidah yang diajarkan Islam yang sangat menghormati kesucian Nabi Isa ‘Alaihissalam. Inipun akan mengotori iman kita kepada Kitab Allah (Al Qur'an) yang mengatakan bahwa orang-orang Yahudi itu tidak menyalib Nabi Isa ‘Alaihissalam dan tidak pula membunuhnya (QS An-Nisaa’: 157). Maka cukup bagi umat Islam untuk mempelajari Al Qur’an dan tidak perlu mempelajari kitab-kitab lain karena Al Qur'an menjadi saksi (muhaimin) kitab-kitab yang terdahulu.

Al Muhaimin yang merujuk kepada sifat Allah (QS Al-Hasyr: 23) berarti bahwa hanya Allah yang memelihara dan menjaga seluruh makhluknya baik dari segi keselamatannya, keamanan, dan kesejahteraannya. Salah satu hikmah penyebutan Al Muhaimin di belakang As Salam dan Al Mukmin adalah bahwa Allah yang memelihara kesejahteraan (salam) dan ketenangan hati (amin) dari seluruh hamba-Nya. Pemeliharaan dan pengawasan Allah itu begitu luas cakupannya, karena banyaknya yang diawasi dan luasnya jagad raya ini sehingga tidak ada satu makhlukpun yang dapat menandingi. Apalagi menandingi kemampuan Allah dalam memelihara dan mengawasi, membayangkan kemampuan Allah untuk melakukan pemeliharaan dan pengawasan saja tidak ada yang bisa. Akal manusia terlalu lemah untuk dapat membayangkannya. Begitu pula indera mereka hanya memiliki kemampuan yang sangat terbatas. Hanya mampu melihat yang lahir saja. Manusia tidak bisa melihat apa yang terembunyi di kegelapan malam. Sedangkan bagi Allah sebutir biji yang jatuh dalam kegelapanpun dilihat-Nya (QS Al-An’aam: 59). Begitu pula indera yang lain hanya mampu menjangkau segala sesuatu yang bersifat lahiriyah saja sedang apa yang tersembunyi di dalam hati tidak bisa dilihatnya. Adapun Allah Subhanahu wa Ta’ala menyaksikan sekaligus yang lahir dan apa yang dibisikkan oleh hati manusia (QS Qaaf: 16). Bahkan apa yang disembunyikan oleh hati manusiapun diketahui Allah (QS Al-Mukmin: 19). Pengawasan manusia juga dibatasi oleh ruang dan waktu. Apa yang ada di balik tembok tidak bisa dilihatnya. Begitu pula apa yang sudah terjadi di masa lampau dan apa yang akan terjadi di masa mendatang tidak bisa diketahuinya sekarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat jauh dari kelemahan seperti itu. Dia menyaksikan sekaligus semua makhluk-Nya di mana saja mereka berada di seluruh jagad raya ini. Bahkan Allah menjangkau semua penglihatan, tetapi tidak ada penglihatan manusia yang dapat menjangkaunya (QS Al-An’aam: 103).

Dari uraian yang telah kita simak ini, kita dapat mengambil pelajaran bahwa wajib bagi manusia untuk menggantungkan seluruh nasibnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memelihara, menjaga, dan mengawasi semua makhluk-Nya. Hendaknya dalam diri orang beriman tidak akan ada ketakutan dan kekhawatiran terhadap apa yang akan terjadi karena semua berada di bawah pengawasan Allah. Begitu pula tidak berguna kesedihan di dalam hati atas apa yang sudah terjadi, karena semua itu terjadi atas kehendak Allah. Keyakinan kita yang kokoh terhadap nama dan sifat Allah Al Muhaimin akan meningkatkan kualitas takwa. Dia akan senantiasa merasa diawasi Allah dan tidak ada tempat tersembunyi baginya untuk bermaksiat kepada-Nya. Begitu pula keyakinan itu akan meningkatkan tawakal kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena kita sadar bahwa Allah selalu menjaga dan memelihara kita.

Diambil dari :
http://mta-online.com/v1/index.php?option=com_content&task=view&id=367&Itemid=1
http://www.mediantcom.id.or.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar