Imam Ahmad telah meriwayatkan dalam az-Zuhd, dan diriwayatkan juga oleh selainnya, bahwa 'Umar pernah memberikan nasihat:
لاَ تَظُنَّنَّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنْ أَخِيْكَ سُوْءً وَأَنْتَ تَجِدُ لَهَا فِي الْخَيْرِ مَحْمَلاً
“Janganlah sekali-kali engkau menyangka dengan prasangka yang buruk terhadap sebuah kalimat yang keluar dari (mulut) saudaramu, padahal kalimat tersebut masih bisa engkau bawakan pada (makna) yang baik.”
Berkata Ibnul Mubarak, seorang imam dan mujahid yang masyhur:
الْمُؤْمِنُ يَطْلُبُ الْمَعَاذِيْرَ
“Seorang mukmin adalah orang yang mencari udzur-udzur (bagi saudaranya).”
Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibnu Mazin:
الْمُؤْمِنُ يَطْلُبُ ْمَعَاذِيْرَ إِخْوَانِهِ وَالْمُنَافِقُ يَطْلُبُ الْعَثَرَاتِ
“Seorang mukmin mencari udzur bagi saudara-saudaranya, sedangkan orang munafik mencari-cari kesalahan saudara-saudaranya.”
Abu Qilabah 'Abdullah bin Zaid al-Jarmi berkata -sebagaimana dinukil oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (II/285)-:
إِذّا بَلَغَكَ عَنْ أَخِيْكَ شَيْءٌ تَكْرَهُهُ فَالْتَمِسْ لَهُ الْعُذْرَ جهْدَكَ، فَإِنْ لَمْ تَجِدْ لَهُ عُذْرًا فَقُلْ فِيْ نَفْسِكَ: لَعَلَّ لأَخِيْ عُذْرًا لاَ أَعْلَمُهُ
“Jika sampai kepadamu kabar tentang saudaramu yang kau tidak sukai, maka berusahalah mencari udzur bagi saudaramu itu semampumu, jika engkau tidak mampu mendapatkan udzur bagi saudaramu, maka katakanlah dalam dirimu, 'Mungkin saudaraku punya udzur yang tidak kuketahui'.”
Hamdun Al-Qashshar berkata:
إِذَا زَلَّ أَخٌ مِنْ أِخْوَانِكَ فَاطْلُبْ تِسْعِيْنَ عُذْرًا، فَإِنْ لَمْ يَقْبَلْ ذّلِكَ فَأَنْتَ الْمَعِيْبُ
“Jika salah seorang dari saudaramu bersalah, maka carilah sembilan puluh udzur untuknya, dan jika saudaramu itu tidak bisa menerima satu udzur pun (jika engkau tidak menemukan udzur baginya) maka engkaulah yang tercela.”
Lihat Adabul ‘Isyrah, hal 19.
Abu Hatim bin Hibban berkata -dalam Raudhatul Uqalaa’, hal. 131, sebagaimana dinukil oleh Syaikh al-'Abbad dalam Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, hal 26-: "Wajib bagi seorang yang cerdik untuk melazimi keselamatan (hati dan lisannya), dengan meninggalkan tajasuss (mencari-cari) aib orang lain dan menyibukkan dirinya untuk memperbaiki aibnya sendiri. Sesungguhnya barangsiapa yang sibuk mengurusi aibnya sendiri sehingga terlalaikan dari mengurusi aib orang lain maka ia telah menyantaikan tubuhnya dan tidak meletihkan hatinya. Semakin dia mengungkap dan mengenal aib-aib dirinya maka akan terasa semakin ringan baginya aib semisal aibnya yang tampak pada saudaranya. Adapun barangsiapa yang sibuk mengurusi aib-aib orang lain sehingga terlalaikan dari mengurusi aibnya sendiri maka hatinya menjadi buta dan letih badannya serta tidak mampu meninggalkan aib dirinya sendiri.”
Sungguh indah perkataan seorang penyair:
شَرُّ الْوَرَى بِعُيُوْبِ النَّاسِ مُشْتَغِلْ مِثْلُ الذُبَابِ يُرَاعِي مَوْطِنَ الْعِلَلْ
Seburuk-buruk manusia adalah yang sibuk mengurusi aib orang lain
ibarat seekor lalat yang hanya mencari-cari tempat yang kotor
Syaikh 'Abdurrazzaq berkata: “Pada umumnya manusia tidak melihat aib diri mereka. Engkau melihat salah seorang dari mereka berperilaku kasar, namun ia merasa bahwa dirinya sangat lembut. Meski begitu keadaannya, ia masih sibuk mengkritik kesalahan orang lain. Barangsiapa yang mampu mengenal aib dirinya sendiri maka hal itu merupakan tanda kebaikan, keshalihan, dan merupakan awal timbulnya banyak kebajikan.”
Mencari udzur untuk sesama saudara termasuk jalannya as-Salafus shalih. Ditanyakan kepada Junaid, “Kenapa para sahabatmu makannya banyak?” Dia menjawab, “Karena mereka tidak minum khamr, sehingga mereka lebih lapar.” Lalu ia ditanya lagi, “Kenapa syahwat mereka besar?” Dia menjawab, “Karena mereka tidak berzina dan tidak melakukan hal yang dilarang.” Lalu ia ditanya lagi, “Kenapa mereka tidak bergoyang (bergerak-gerak karena semangat) tatkala mendengarkan al-Qur-an?” Dia menjawab, “Karena al-Qur-an adalah firman Allah, tidak ada sesuatu pun dalam al-Qur-an yang menyebabkan untuk bergoyang. Al-Qur-an turun dengan perintah dan larangan, dengan janji (kabar gembira) dan ancaman, maka Al-Qur-an adalah menyedihkan.” Begitulah seterusnya, Junaid terus mencari udzur terhadap para sahabatnya.
Lihat Adabul ‘Isyrah, hal 36.
Mengenang saudara & sahabatku Purna Atmaja. Uhibbuka fillah, ya akhi....
Sumber artikel firanda.com
Subhanallah....
BalasHapussemoga kita semua menjadi insan yang mampu menjaga lidah yakni dengan berkata-kata yang baik.
Jazakallah khoir atas nasehatnya, memang tanpa sadar diri kita masih sering melihat kekurangan / kesalahan orang lain, sedangkan kesalahan diri sendiri bisa saja lebih banyak dari org yg dicela. astagfirullah....
BalasHapuskalau udzur di sunda artinya sakit .. alias udur :)
BalasHapus