Sebagaimana orang yang kecewa manakala kehilangan shalat berjama'ah, dia menyadari bahwa ketika dia shalat sendirian maka ia kehilangan 27 derajat. Demikian halnya jika ia tidak dapat mengerjakan di awal waktu yang diridhai oleh Allah, atau tidak berada di shaff terdepan yang di sanalah Allah mengucapkan shalawat atasnya dan malaikat yang berada di kanannya. Sekiranya seorang hamba mengetahui fadhilahnya niscaya dia akan berebut dan berundi untuk mendapatkan shaf terdepan.
Begitu pula dengan orang yang kehilangan rasa khusyuk tatkala shalat dan kehadiran hati tatkala berdiri di hadapan Allah Ta'ala. Karena khusyu' adalah ruh dan inti shalat. Shalat tanpa disertai khusyuk dan hadirnya hati, laksana jasad yang mati tak bernyawa. Bukankah seseorang merasa malu manakala memberikan hadiah kepada orang lain yang setara dengannya berupa budak yang telah mati atau jariyah yang telah menjadi mayit? Lantas bagaimana halnya jika ia memberikan hadiah seperti ini kepada raja, pemimpin dan semisalnya? Begitu pula, shalat yang tak disertai khusyuk, kehadiran hati dan membulatkan harapannya kepada Allah Ta'ala laksana seorang budak yang telah menjadi mayit dihadiahkan kepada seorang raja. Oleh karena itulah Allah tidak menerima shalatnya. Kendati telah gugur kewajibannya di dunia, namun ia tidak mendapatkan pahala karenanya. Karena tiada pahala shalat bagi seorang hamba melainkan tatkala dia berakal (memikirkan), sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab-kitab As-Sunan dan Musnad Imam Ahmad dari Nabi صلي الله عليه وسلم bersabda:
"Sesungguhnya seorang hamba melakukan shalat, namun tidak dicatat pahala baginya melainkan hanya separuhnya, atau sepertiganya, seperempatnya, seperlimanya...hingga sepersepuluhnya" (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Ibnul Qayyim Al Jauziyyah Rahimahullah
www.ibnumajjah.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar